Latuharhary, Gubernur Maluku Pertama Penjaga Pluralisme


JOHANNES “Nani” Latuharhary adalah Gubernur pertama Provinsi Maluku. Dia merupakan salah satu putra Maluku yang sangat dihormati oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa. Namanya, diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Pusat dan sebuah kapal barang milik pemerintah Indonesia.

Di Maluku, monumen Latuharhary dibangun di Negeri Haruku, Maluku Tengah, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara.

Tokoh perumus naskah proklamasi ini lahir di negeri Ulath, Saparua, Maluku Tengah tanggal 6 Juli 1900. Meninggal di Jakarta, 8 November 1959 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Istrinya adalah putri Maluku Henriette Carolina “Yet” Pattiradjawane (anak Raja Kariu Jacob Pattiradjawane), dan memiliki 7 putra-putri. Putri sulungnya, Henriette Josephine atau Mans, menikah dengan negarawan Indonesia Josef Muskita.

Johannes Latuharhary adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ia memperoleh gelar Mesteer in de Rechten pada usia 27 tahun.
Dokumen yang dikeluarkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menunjukkan semula Latuharhary bersekolah di Jatinegara, Jakarta. Lalu, berlanjut ke ELS di Ambon.

Pada tahun 1915 ia menjadi pengajar di Sekolah Rakyat di Saparua. Latuharhary kembali ke Batavia, meneruskan pendidikan di HBS Jakarta dan memperoleh diploma pada 1923.

Setahun setelah lulus dari Leiden, Latuharhary bekerja di dunia peradilan di Surabaya, pernah tercatat sebagai Ketua Pengadilan di Kraksaan. Lalu, membuka kantor advokat di Surabaya. Ketika Jepang masuk, Latuharhary menjadi pegawai Naimubu Jakarta dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran kala itu: f400,20 per bulan. “Wah, gajinya sangat tinggi kala itu,” puji Prof Sahetapy.

Nama Latuharhary mencuat pada masa awal kemerdekaan bersamaan dengan upaya tokoh-tokoh nasional membuat suatu perkumpulan yang representatif. Latuharhary dianggap merepresentasikan wakil Maluku di pentas nasional.

Pada 1928, Latuharhary menjabat sebagai Ketua Serikat Ambon. Di Surabaya, ia menjabat sebagai Sekretaris Permufakatan Perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Periode 1932-1942 ia menjadi anggota Dewan Provinsi Jawa Timur. Sejak 1940, Latuharhary menjadi pengurus Partai Indonesia Raya (Parindra) di Malang.

Ketika dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dari 30 anggota, nama Mr Johannes Latuharhary menempati urutan ke 14, dan dianggap mewakili Maluku. Di Panitia ini Latuharhary duduk bersama antara lain Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri.

Latuharhary adalah anggota BPUPKI yang menolak masuknya anasir religiositas ke dalam UUD 1945. Pada rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945, Latuharhary menolak penggunaan kata Ketuhanan dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945.

“Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang ke-Tuhanan,” kata Latuharhary sebagaimana diungkap dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995).

Anggota BPUPKI, Sartono mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa soal detail kalimat akan dibicarakan kemudian. Soekarno mempertanyakan apakah Latuharhary sudah memikirkan kemungkinan penolakan dari anggota BPUPKI yang lain terhadap pandangan Latuharhary.

Latuharhary menegaskan bahwa dalam menyusun hukum dasar tidak boleh ada benih-benih yang dapat diartikan bermacam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada kelompok lain.

Ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) periode Agustus-Oktober 1945, Latuharhary terpilih sebagai Wakil Ketua III. Ketua Komite ini adalah Mr Kasman Singodimedjo. Belakangan, posisi Latuharhary di Badan Pekerja KNIP mewakili Maluku digantikan oleh P de Quelju.

Sejarah mencatat bahwa selama duduk di BPUPKI dan PPKI, Latuharhary telah mengajukan sejumlah usul penting. Pada rapat PPKI pada 19 Agustus 1945, Latuharhary menolak istilah mangkubumen yang diusulkan Soekarno sebagai sebutan pemerintahan daerah. Selain istilah itu dianggap berbau Jawa, istilah yang lazim dipakai adalah gubernemen atau provinsi. Istilah yang dipakai kemudian adalah provinsi.

Pada sesi lain rapat PPKI, Latuharhary juga menyatakan penolakannya terhadap pembentukan Kementerian yang khusus mengurusi agama, yakni Departemen Agama. Persoalan ini dinilai Latuharhary sensitif dan bisa menciderai semangat kebangsaan yang tengah dibangun.

“Saya yakin bahwa jika mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan yang tersinggung atau yang tidak senang,” kata Latuharhary pada rapat PPKI Minggu siang di Gedung Tyuuoo Sangi-in (sekarang Departemen Luar Negeri).

Ketika Hatta mengusulkan pembentukan 15 Departemen, Latuharhary mendukung pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum. Bagi dia, urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele.

1 thought on “Latuharhary, Gubernur Maluku Pertama Penjaga Pluralisme

Leave a comment